Kegiatan “Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp 2017”

Posted : 09 Sep 2017

“Tubuh dirayakan sebagai tuan rumah untuk ekspresivitas kreatif dalam sebuah karya…Bagaimana tubuh tari Indonesia tidak lagi mengandalkan keindahan eksotik dan domestik.”

Demikian kutipan isi pengantar kegiatan Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp 2017 yang dipaparkan oleh Renee Sariwulan, seorang pengamat seni pertunjukan Indonesia yang  berdomisili Yogyakarta. Selain melibatkan Renee sebagai penulis, kegiatan workshop tari tahunan ini menghadirkan beberapa ahli dalam seni pertunjukan berskala internasional, yaitu Lim How Ngean (dramaturg asal Malaysia yang berdomisili di Melbourne, Australia), Melanie Lane (koreografer dan penari asal Melbourne, Australia), Eko Supriyanto (Koreografer dan penari asal Surakarta), Hartati (Koreografer dan penari dari Jakarta), Iwan Irawan (Koreografer dan penggagas PASTAKOM dari Pekanbaru), dan Ali Sukri (Koreografer dan penari dari Padang Panjang).

Program ini berlangsung pada tanggal 3-9 September 2017 di NuArt Sculpture Park, sebuah ruang seni di Bandung milik Nyoman Nuarta, pematung yang dikenal dengan mega-karya Garuda Wisnu Kencana yang kini tengah memasuki tahap penyelesaian di kawasan Jimbaran, Bali.

Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp (SKDC) adalah sebuah kegiatan tahunan yang sebelumnya sudah dilakukan pada tahun 2015 dan 2016, dan mendapat respon positif dari dunia seni tari di Indonesia khususnya dunia tari kontemporer. Kegiatan ini digagas oleh Keni K. Soeriaatmadja dan Ratna Yulianti dari Komunitas Tari Sasikirana, yang pada awalnya mendapat Hibah Karya Inovatif Yayasan Kelola (2015) di bawah bendera Bengkel Tari Ayu Bulan.

Program ini pada intinya bermaksud untuk menjaring bakat-bakat tari yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia untuk mendapatkan bimbingan berkelanjutan berupa materi pengembangan skill, kemampuan konseptual, dan pembentukan jaringan antara penari yang tersebar di pelosok negeri ini agar terlibat dalam medan sosial seni yang lebih luas. Dalam kegiatan SKDC, peserta workshop diberikan program pelatihan intesif yang cukup berat selama satu minggu penuh, berupa latihan fisik yang mempertajam kemampuan kepenarian peserta sambil mengasah kemampuan konseptual dan penataan tari dari para koreografer muda yang terpilih untuk mengikuti kegiatan ini.

Peserta Dance Camp dijaring dari berbagai daerah di Indonesia melalui pendaftaran terbuka (open call) kemudian diseleksi untuk mencapai jumlah sebanyak 20 orang berdasarkan kemampuan kepenarian dan kemampuannya menyampaikan pendapat mengenai seni tari di Indonesia. Ada pun peserta yang terpilih pada tahun ini berasal dari 18 kota/kabupaten di Indonesia, yaitu: Athief Yuliati (Malang), Chahara Juniar (Bogor), Citra Pratiwi (Yogyakarta), Dwitya Amanda Putri (Tanjung, Kalsel), Ervin Nuriana (Blitar), Erwin Mardiansyah (Solok, Sumbar), Febri Veronika Kristi (Banyuwangi), Edbert (Medan), I Komang Adi Astawa (Gianyar, Bali), I Nyoman Krisna Satya Utama (Bali), Tulus Tri Sumanto (Malang), Irfan Setiawan (Bangka Belitung), James Lim (Jakarta), Keanna Sharon (Bandung), Miftahul Hauna (Pekanbaru), Muhammad Adiyad (Tenggarong, Kaltim), Serlinda Maharani (Bandung), Supriyadi (Tangerang), Tri Putra Mahardika (Jambi), dan Venny Rosalina (Lebong, Sumbar).

Peserta KoreoLAB dipilih melalui seleksi tertutup dan penunjukan langsung, yaitu Wan Harun Irawan (Pekanbaru), Geri Krisdianto (Bandung), Densiel Lebang (Makassar), Isa Al Awwam (Tidore), dan Dedi Aprilio (Papua). Masing-masing koreografer muda ini diharapkan mampu menghasilkan embrio karya yang diolah proses penciptaannya dalam bimbingan intesif para mentor di SKDC. Selanjutnya, karya tersebut digarap bersama dengan para peserta Dance Camp untuk kemudian dipresentasikan dalam sebuah site-specific performance yang dibuka untuk disaksikan publik pada hari Sabtu, 9 September 2017 di NuArt Sculpture Park, Bandung.

Sebagai Direktur Program kegiatan ini, Keni Soeriaatmadja menuturkan, “Melihat yang  terjadi selama dua tahun sebelumnya, saya melihat bahwa kegiatan ini berkembang menjadi seperti ‘sekolah tubuh’ Indonesia”. Ia meminjam istilah tersebut dari Renee Sariwulan yang menyatakan bahwa diperlukannya kegiatan yang menyoroti secara khusus kekayaan tubuh Indonesia yang terpendam dan peluangnya untuk disuarakan dengan lebih lantang. “Dalam banyak perhelatan, seni tari seringkali dilibatkan sebagai bentuk keindahan budaya bangsa, namun sedikit sekali kegiatan non-formal yang berfokus benar pada proses penciptaan karya dan pembentukan karakter penari Indonesia,” lanjut Keni, “padahal di negeri ini ada ribuan penari di berbagai daerah yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan tari formal-akademis. Yang sudah menjalani proses akademis pun sebenarnya perlu terus melakukan pengayaan dan peningkatan kemampuan”. Harapannya, pelatihan intensif ini mampu melahirkan penari yang mampu menunjukkan identitas melalui akar budayanya masing-masing, sambil mengutarakan ide yang berlandaskan pada situasi sosial, politik, ekonomi dan lingkungan saat ini, seperti yang umumnya berkembang dalam wacana seni kontemporer secara global.

Sehubungan dengan ini, koreografer Eko Supriyanto menyatakan bahwa, “SKDC memberi kesempatan penari untuk menyelami diri lebih dalam untuk menemukan identitas pribadi dan keunikan dari masing-masing individu, dan kemudian merajutkan pendekatan fisikal dan kinestetik untuk mencapai sebuah gagasan dalam menciptakan karya tari (koreografi) kontemporer.”

Kegiatan yang mendapat dukungan dari Bakti Budaya Djarum Foundation, NuArt Sculpture Park, PT Ultrajaya, Pendidikan Seni Nusantara (PSN), Gerakan Indonesia Kita (GITA), dan beberapa sponsor dan donatur lainnya ini diproyeksikan untuk diadakan setiap tahun. Tema yang diusung tahun ini adalah “AFTERDANCE”, yang mempertanyakan kembali signifikansi aktivitas ‘menari’ dalam seni tari kontemporer dengan mengembalikan tubuh pada eksistensi asalnya, dan menempatkannya sebagai bagian dari lingkungan alam dan sosio-kultural tempatnya berada. Melihat trend kecenderungan penari untuk menumpukkan berbagai elemen naratif, artistik dan teknologi dalam berkarya, proposisi ini berusaha mengembalikan kepercayaan penari terhadap potensi tubuhnya sendiri, dan segala aspek kemanusiaan yang dimilikinya, dalam mengeksplorasi sebuah idea.

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya