Teater Tetas Mempersembahkan Lakon Berjudul Adipati Karna, Bayi di Aliran Sungai

Posted : 21 Sep 2019

Teater Tetas kembali menggelar pertunjukan yang berbasis dari cerita wayang di Gedung Pertunjukan Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, Jalan Bulungan Blok C Nomor 1, Kebayoran Baru, pada 20 dan 21 September 2019 mulai pukul 20.00  WIB. Judul pementasannya yakni Adipati Karna, Bayi di Aliran Sungai, yang bersumber dari karya AGS Arya Dipayana. Pentas ini terselenggara berkat dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation, London School of Public Relations, Sewasewa.id, dan Simpul Teater Jakarta Selatan (Sintesa).

Sutradaranya adalah Harris Syaus. Elly Lutan, koreografer tari yang kini memimpin Deddy Lutan Dance Company, bertindak sebagai penata gerak dan busana. Adapun dalang muda dan pemimpin Wayang Urban, Nanang Hape, menjadi penata musiknya. Penata artistik Sugeng Yeah dan penata cahaya Herry W. Nugroho.

Werner Schulze, guru besar emeritus dari Universitas Musik dan Seni Pertunjukan Wina, Austria, juga terlibat dalam proses produksi pementasan ini. Tetas dan Werner berkolaborasi untuk tur pentas di Eropa pada 2012 dan 2016, serta berlanjut sampai sekarang.

Tema pentas ini adalah kisah kehidupan Adipati Karna dari karya sastra wayang Mahabarata. Kisah ini ditulis kembali oleh AGS Arya Dipayana, pendiri Tetas yang kini sudah almarhum, dalam bahasa Indonesia dan menjadi sebuah naskah drama yang berjudul Bayi di Aliran Sungai. Dalam cerita wayang Mahabarata dari India yang sudah mengalami banyak penyesuaian dalam tradisi di Nusantara sejak dulu kala, Karna adalah anak Dewi Kunti, ibu para Pandawa, dari hubungan gelapnya dengan Batara Surya.  Untuk menutup aibnya, bayi Karna itu dihanyutkan di aliran sungai dan kemudian ditemukan oleh sepasang suami istri.

Setelah peristiwa pembuangan bayi itu berlalu sekian tahun lamanya, pada suatu ketika di arena ujian ketangkasan murid-murid Durna, muncullah seorang pemuda menantang Arjuna, salah satu anggota keluarga Pandawa. Dialah Karna. Hati Dewi Kunti bergetar dengan kehadiran kesatria yang entah dari mana asalnya.

Kelompok Kurawa yang selama ini gelisah karena tidak memiliki kesatria ahli memanah setara Arjuna, menjadi berbahagia dengan kehadiran seorang Karna. Selanjutnya, Karna diangkat menjadi saudara oleh Prabu Duryudhana, tetua Kurawa, dan menempatkannya sebagai raja di Angga. Dengan demikian, kekuatan pihak Kurawa menjadi bertambah bersama kehadiran Adipati Karna yang dianggap bisa mengimbangi kemampuan Arjuna. Dewi Kunti pun bertambah keresahannya.

Pada saat perang saudara itu semakin memungkinkan terjadi karena Prabu Duryudhana menolak untuk memberikan separuh Hastina ke pihak Pandawa, sebagaimana yang diusulkan oleh Prabu Kresna. Bujukan Prabu Kresna dan Dewi Kunti  tidak bisa mengubah pendirian Adipati Karna yang telanjur kukuh untuk tetap berada dan berperang di pihak Kurawa. Perang Baratayudha pun terjadi dan jasadnya terbaring di padang Kurusetra. Dia dibunuh Arjuna. Adik dari rahim yang sama.

Pada 1999, AGS Arya Dipayana menulis dan menyutradarai  pentas Bayi di Aliran Sungai ini pada pentas keliling Teater Tetas di Makassar Art Forum dan Gedung Kesenian  Jakarta. Sekarang Harris sebagai sutradara melakukan interpretasi ulang dalam sudut pandang cerita dan bentuk garapan. Salah satu wujud interpretasinya adalah pada penambahan kata pada judulnya, yaitu Adipati Karna, Bayi di Aliran Sungai. Hal itu sejalan dengan fokus yang dipilih sang sutradara ini, yaitu dampak perang saudara yang bisa dipetik dari penggalan kisah Mahabarata ini.

“Ketika perang saudara menanti di depan mata, masih perlukah kita bertanya akan berdiri di pihak mana? Pandawa dan Kurawa memiliki kebenarannya sendiri. Dan, sejarah membuktikan bahwa benar dan salah acap terkait dengan menang dan kalah. Bagi yang menang maupun yang kalah, dua-duanya memiliki potensi untuk memutarbalikkan fakta, tergantung kepentingan apa yang melatarbelakanginya. Kita mengenal tiga macam kebenaran: kebenaran Tuhan, kebenaran diri sendiri, dan kebenaran penguasa. Mana yang kita pilih akan menjadi tidak berarti jika dibangun dengan kecurangan. Adipati Karna, mungkin juga kita, adalah anak haram peradaban yang selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan itu. Apapun yang mendasari Karna atas pilihan dan sikapnya, ia bisa menjadi inspirasi bagi kita. Bahwa kualitas seseorang adalah kumpulan dari  perbuatannya dan bukan dari kata-kata atau darah siapa yang mengalir di tubuhnya. Di luar semua itu, perang, atas nama dan alasan apapun, hanya akan menyengsarakan bagi yang menang maupun yang kalah,” kata Harris, Sutradara Teater Tetas.   

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya