Monolog #3Perempuanku, Bukan Bunga Bukan Lelaki

Posted : 28 Sep 2015

Arcana Foundation bersama dengan Djarum Apresiasi Budaya mempersembahkan lakon monolog #3Perempuanku, Bukan Bunga Bukan Lelaki, yang merupakan adaptasi naskah berjudul “Bukan Bunga Bukan Lelaki” dari buku Monolog Politik karya sastrawan/wartawan Putu Fajar Arcana. Lakon ini dipentaskan pada hari Sabtu, 26 September 2015, pukul 20.00 WIB, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

“Keberadaan seni sastra di Indonesia sekarang ini masih jarang diminati oleh masyarakat Indonesia. Saya harap dengan nama besar Inayah Wahid, Olga Lydia dan Happy Salma, pertunjukan monolog #3Perempuanku, Bukan Bunga Bukan Lelaki ini bisa menyemangati pihak-pihak yang masih peduli terhadap seni sastra,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Di dalam monolog Bukan Bunga Bukan Lelaki terdapat 3 tokoh perempuan yang menjadi pemeran utama, tetapi mereka tidak saling mengenal. Alur cerita dihubungkan oleh relasi yang tak pernah diketahui oleh para perempuan itu, bahwa mereka adalah istri dari satu lelaki yang sama, seorang pejabat partai dan anggota parleman. Oleh sebab itulah, naskah lakon ini dilengkapi dengan judul #3Perempuanku, Bukan Bunga Bukan Lelaki. Pelengkapan itu dibutuhkan karena selain membahas isu korupsi, lakon ini juga mengusung pesan moral kekerasan terhadap perempuan.

Tokoh istri tua bernama Wagiyem dimainkan oleh Inayah Wahid. Inayah memiliki warna vokal dan cengkok Jawa yang kental, apalagi ia akan memerankan Wagiyem dengan bahasa “ngapak-ngapak” (bahasa khas Banyumasan) yang memberi aksentuasi karakternya yang sangat unik dan spesifik. Dalam keseharian, putri bungsu mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini termasuk orang yang tak pernah kehabisan cerita. Bahkan seluruh ceritanya selalu bernuansa lucu dan satire. “Tokoh Wagiyem itu mewakili banget kalangan perempuan di desa, yang hidupnya susah, miskin, pasrah, tetapi terus ditindas terutama oleh lelaki,” kata Inayah Wahid.

Sementara itu Olga Lydia memerankan istri kedua bernama Renata. Olga memberi kekhasan karakter Renata dengan studinya tentang perilaku kelas menengah Indonesia yang serba “kepengen” terlihat berkelas dan baik-baik saja, tetapi sesungguhnya memendam kegalauan. “Saya melihat lakon ini seperti cermin kehidupan banyak perempuan kita yang tertipu mentah-mentah oleh ulah para lelaki. Bahkan ada yang tidak sadar telah ditipu, karena itu saya gemes,” kata Olga Lydia.

Peran istri ketiga bernama Liza Sasya akan dimainkan oleh Happy Salma, dimana ia merasa perlu belajar bergoyang dan menyanyi dengan cengkok dangdut untuk mendalami peran Liza sebagai penyanyi dangdut dari Pantura (Pantai Utara Jawa). “Dia norak, kepengen hidup di kota besar dengan berkarir sebagai penyanyi. Karena itu dia gampang dibohongi. Modalnya jadi penyanyi mengandalkan goyangannya yang aduhai,” kata Happy Salma.

Pementasan ini disutradarai oleh Rangga Bhuana Riantiarno, yang dibesarkan dalam tradisi teater kental di Teater Koma yang didirikan orang tuanya N. Riantiarno dan Ratna Riantiarno. Ia mengatakan monolog karya Putu Fajar Arcana ini unik, karena biasanya monolog hanya dimainkan oleh satu orang dengan karakter yang berganti-ganti. “Ini lakon monolog dengan tiga pemeran dengan karakter yang berbeda, tetapi tidak terjadi dialog diantara mereka. Hubungan ketiganya baru ketahuan pada akhir pentas, di mana ketiganya adalah istri dari seorang anggota parlemen yang korup. Dialog-dialog tokoh dihubungkan dengan satu kata kunci, yang kemudian dikembangkan oleh tokoh yang mendengarnya. Itulah uniknya naskah karya Bli Can,” kata Rangga perihal keunikan naskah monolog ini.

Menurut produser Joan Arcana, lakon ini ia pentaskan lantaran adanya keinginan turut serta mengkampanyekan perilaku anti korupsi. “Teater atau seni pada umumnya juga harus turut bertanggung jawab terhadap kondisi bangsa. Seni tidak boleh steril dari situasi sosial, politik, dan budaya di sekitarnya,” kata Joan. Lakon monolog ini, katanya, akan mewakili perlawanan perempuan terhadap dominasi para lelaki. “Isu kekerasan terhadap perempuan harus terus-menerus ditanggapi untuk mengadvokasi para perempuan kita. Banyak lho perempuan Indonesia yang tidak tahu bahwa dirinya sedang mengalami kekerasan. Ada yang ditinggal begitu saja oleh suami-suami mereka dan hidup dengan anak-anak tanpa nafkah dari suami,” lanjut Joan.

Selain menampilkan tiga pemeran yang aktingnya tidak diragukan lagi, pentas #3Perempuanku, Bukan Bunga Bukan Lelaki juga menampilkan gitaris Dewa Budjana yang bertindak sebagai direktur musik seluruh pertunjukan. Ia menciptakan beberapa komposisi khusus untuk menyesuaikan dengan karakter naskah dan para pemerannya. “Ini pengalaman pertama saya menggarap musik untuk teater dan semuanya dibawakan live. Saya beruntung bekerja dengan orang-orang hebat dalam tim ini,” ujar Budjana.

Pementasan ini juga dilengkapi dengan teknologi multi media yang dikerjakan oleh Ade Budi Wahono, artistik oleh Jose R. Kurniawan dan tata cahaya oleh Herry W Nugroho. “Kami membuat video mapping untuk beberapa adegan. Ini untuk memberi sentuhan baru pada dunia teater di Tanah Air. Seluruhnya merupakan kerjasama dari orang-orang yang profesional pada bidangnya masing-masing,” ujar Joan.

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.

 



Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya