Produksi Teater Koma Ke-146 Opera Kecoa, Potret Masa Lalu Untuk Masa Kini

Posted : 17 Nov 2016

Menyusul kesuksesannya dalam pagelaran Semar Gugat pada bulan Maret lalu, Teater Koma yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation kembali mempersembahkan lakon berjudul “Opera Kecoa”. Produksi ke-146 ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki mulai dari tanggal 10 hingga 20 November 2016.

"Teater Koma adalah salah satu teater yang masih aktif menghasilkan karya-karya seni pertunjukan hingga saat ini. Dengan kemampuan dalam mengemas seni pertunjukan yang ditampilkan di atas panggung, Teater Koma selalu menghadirkan sajian yang menarik dan menghibur. Konsistensi yang dihasilkan telah menginspirasi para seniman muda Indonesia untuk senantiasa berkarya dan berkreasi. Kami akan senantiasa mendukung dan memberikan apresiasi sebagai upaya melestarikan dan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap seni pertunjukan Indonesia," ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Selain mendukung pertunjukan, Bakti Budaya Djarum Foundation juga berpartisipasi dalam program apresiasi seni pertunjukan Teater Koma, yaitu sebuah program yang bertujuan untuk mengajak 200 pekerja seni teater, guru, dan mahasiswa  di Jakarta untuk menonton pertunjukan Teater Koma. Program ini diharapkan memberikan ruang apresiasi bagi masyarakat terutama yang belum pernah menonton karya Teater Koma sebelumnya, sehingga mereka menemukan referensi mengenai sajian artistik serta konsep dramaturgi yang detil dari karya Teater Koma.

Opera Kecoa berkisah tentang orang-orang kecil yang menghadapi kenyataan keras. Perjuangan seorang bandit kelas teri, Roima, yang sedang berada di persimpangan jalan. Dia tertarik kepada Tuminah, seorang Pekerja Seks Komersial, meski sudah punya pacar, Julini si waria. Ketiga orang ini dan tokoh-tokoh lainnya melakoni perjuangan hidup yang hanya punya dua resiko: jadi ada atau tersingkir. Nasib baik jarang memihak mereka. Tempat mereka seperti sudah digariskan: gorong-gorong, di dalam got, di kolong jembatan, di kawasan kumuh yang jorok, yang gelap dan berbau busuk.

Uniknya, ketika ada kawasan tempat tinggal orang-orang kecil dimakan api, selalu timbul dua pertanyaan, terbakar? atau dibakar? tak ada yang bisa menjawab. Semua gelap. Seperti masa depan mereka.

"Lakon Opera Kecoa kembali kami hadirkan di Graha Bhakti Budaya. Berkisah tentang perjuangan kaum minoritas yang hidup menderita, berhimpit-himpit dalam lorong gelap di balik kemegahan gedung tinggi, mencari keadilan dari para pemimpin. Pertunjukan sarat makna ini, kami tampilkan dalam bentuk nyanyian dan gerak khas Teater Koma. Setelah 31 tahun semenjak pentas pertama, ternyata lakon ini masih bisa menjadi potret keadaan masa kini. Semoga penonton dapat mengambil pesan moral yang berusaha kami sampaikan dalam lakon ini," tutur Nano Riantiarno, penulis naskah dan sutradara Teater Koma.

Lakon karya N. Riantiarno ini pertama kali dipentaskan Teater Koma pada tahun 1985, 31 tahun lalu di Graha Bhakti Budaya. Pada tahun 1990, lakon ini dilarang pentas di Gedung Kesenian Jakarta dan tidak diberi ijin pentas keliling ke Jepang. Kemudian di tahun 1992, dipentaskan dengan judul “Cockroach Opera” oleh Belvoir Theatre di Sydney, Australia.

Akhirnya, lakon ini dipentaskan lagi di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun 2003, 13 tahun setelah pelarangannya. Kini, di tahun 2016, Teater Koma memanggungkan lagi lakon ini di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, tempat lakon ini pertama kali dipentaskan.

Pementasan Opera Kecoa tahun 2016 ini didukung oleh Ratna Riantiarno, Budi Ros, Rita Matu Mona, Dorias Pribadi, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, Sri Yatun, Ratna Ully, Raheli Dharmawan, Julius Buyung, Ina Kaka, Ledi Yoga, Dodi Gustaman, Sir Ilham Jambak, Bangkit Sanjaya, Rangga Riantiarno, Adri Prasetyo, Tuti Hartati, Bayu Dharmawan Saleh, Didi Hasyim dan Joind Bayuwinanda.

Lirik-lirik gubahan N. Riantiarno akan diiringi oleh komposisi musik almarhum Harry Roesli dengan aransemen garapan Fero Aldiansya Stefanus, tata gerak garapan Ratna Ully serta bimbingan vokal Naomi Lumban Gaol. Penataan busana oleh Alex Fatahillah, tata artistik dan tata cahaya panggung digarap oleh Taufan S. Chandranegara, didukung oleh Pimpinan Panggung Sari Madjid, pengarah tehnik Tinton Prianggoro serta Pimpinan Produksi Ratna Riantiarno, di bawah arahan Co-Sutradara Ohan Adiputra dan Sutradara N. Riantiarno.

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya