"Hakim Sarmin", Lakon Kocak Dan Penuh Satir Khas Teater Gandrik

Posted : 06 Apr 2017

Sukses mementaskan Tangis pada 2015, Teater Gandrik yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation kembali menyapa penonton seni pertunjukan Indonesia dalam pagelaran yang bertajuk HAKIM SARMIN. Pementasan ini digelar 29-30 Maret di Taman Budaya Yogyakarta dan 5-6 April di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Naskah Hakim Sarmin yang ditulis oleh Agus Noor dan diproduseri oleh Butet Kartaredjasa ini dikemas dalam bentuk baru yang lebih segar, memadukan seni peran dengan nuansa musik. Pagelaran yang disutradarai G. Djaduk Ferianto kali ini terasa spesial, bukan saja karena menyisipkan dialog dalam bentuk lantunan-lantunan lagu, namun juga karena isu yang dibawakannya begitu kontekstual.

“Teater Gandrik merupakan kelompok teater Indonesia yang mengolah konsep dan bentuk teater tradisional dengan semangat panggung teater kontemporer. Teater Gandrik selalu memberikan kontribusi untuk perkembangan ide, cita-cita dan nilai kehidupan manusia melalui pementasan seni yang digelarnya. Pementasan Hakim Sarmin yang memadukan dialog dan musik ini diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi generasi muda mengenai proses dan perkembangan kebudayaan sehingga mampu membangun jiwa yang penuh dengan semangat kebangsaan,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.

Lakon Hakim Sarmin dipentaskan dengan latar belakang suasana yang ganjil, ketika semua hakim memilih masuk rumah sakit jiwa yang disebut Pusat Rehabilitasi. Para hakim yang menolak masuk Pusat Rehabilitasi, dikabarkan mati terbunuh dan mayatnya dibuang ke lubang buaya. Isu pembersihan hakim-hakim pun menebarkan kecemasan.

Pimpinan Pusat Rehabilitasi, Dokter Menawi Diparani (diperankan oleh Susilo Nugroho) mengatakan, telah terjadi wabah kegilaan yang berbahaya karena sulit dikenali gejala-gejalanya. “Kegilaan dengan cepat menjalar, lebih menakutkan dari wabah sampar,” ujarnya.

Lakon ini mengisahkan sebuah jaman, ketika keadilan dan kegilaan tak lagi bisa dibedakan. “Kegilaan dimulai dari pikiran. Revolusi selalu diawali oleh mereka yang gila. Inilah zaman ketika kegilaan sudah menjadi trend. Kalau tidak gila malah dianggap jadul, kurang gaul,” begitu kata Hakim Sarmin (diperankan oleh Butet Kartaredjasa) dengan gayanya yang khas.

Kepentingan politik, ambisi kekuasaan, siasat licik untuk saling menjatuhkan, semakin membuat ketegangan di antara para tokoh dalam lakon ini. Di satu sisi, proyek rehabilitasi ini dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi wabah kegilaan, tapi pada sisi lain dianggap pemborosan anggaran.

Dokter Menawi Diparani dianggap tak lagi bisa mengendalikan para hakim yang menjadi pasien di Rumah Sakit Jiwa yang dipimpinnya, ketika para hakim itu mulai menggerakkan “Revolusi Keadilan”. Pemberontakan hakim ini melibatkan Komandan Keamanan, Pak Kunjaran Manuke (diperankan oleh Fery Ludiyanto), seorang politisi muda yang ambisius, Bung Kusane Mareki (diperankan oleh M. Arif “Broto” Wijayanto); dan seorang pengacara yang menjadi penasehat Pimpinan Kota, Sudilah Prangin-angin (Citra Pratiwi). Sementara Pimpinan Kota Mangkane Laliyan (G. Djaduk Ferianto) sendiri makin terlihat lelah karena penyakitnya yang tak kunjung sembuh.

“Lakon yang membongkar kegilaan masyarakat di tengah carut-marut hukum ini menjadi lakon yang kocak dan penuh satir ketika dimainkan di atas pentas. Guyonan dan adegan demi adegan yang ditampilkan dengan gaya Teater Gandrik membuat lakon Hakim Sarmin ini menjadi tak sekadar penuh tawa, tetapi juga ironi yang membuat kita harus memikirkan kembali kewarasan kita,” ujar Agus Noor.

Pementasan Hakim Sarmin ini didukung Bakti Budaya Djarum Foundation dan melibatkan para seniman Indonesia, antara lain Purwanto (Penata music), Ong Hari Wahyu (Penata artistic), Rully Isfihana dan Jami Atut Tarwiyah (Penatan Kostum), Dwi Novianto (penata cahaya), Antonius Gendel (penata suara), dan tim lain yang turut berkontribusi untuk pementasan ini.

Teater Gandrik dibentuk 34 tahun lalu sebagai bagian dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja yang berlokasi di Yogyakarta, tanggal 12 September 1983. Dalam perjalanannya, periode 1980-1990 merupakan tahun-tahun produktif Teater Gandrik. Ditandai dengan beberapa pementasan, seperti: Pasar Seret (1985), Pensiunan, Sinden (1986) Dhemit, Isyu (1987) Orde Tabung, Juru Kunci, (1988), Upeti, Juragan Abiyoso (1989) yang menjadi bagian penting dari dinamika sosial politik di Indonesia pada masa itu.

Teater Gandrik menyuguhkan tema-tema sosial yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari, dengan menggunakan “guyon parikena”, yaitu sindiran secara halus, seperti mengejek diri sendiri.  Seni peran dengan gagasan Teater Gandrik ini, oleh beberapa kritikus, disebut sebagai estetika sampakan, di mana panggung menjadi medan permainan para aktor secara luwes, cair dan cenderung “memain-mainkan karakter”, sehingga tak ada batasan yang jelas antara “aktor sebagai pemain” dengan “watak yang dimainkannya”.

Para personil Teater Gandrik memang tumbuh dalam lingkungan tradisi Jawa yang kental. Lingkungan tradisi inilah yang kemudian banyak memberi warna pada pementasan-pementasan Teater Gandrik. Tradisi itu juga menjadi jalan bagi Teater Gandrik untuk mencari dan pada akhirnya menemukan identitas estetik. Tetapi, seperti dikatakan pula oleh Dr. Faruk, para personil Teater Gandrik juga mengalami modernisasi, yang mengakibatkan mereka memiliki keinginan untuk berbeda dengan generasi sebelumnya, dimana mereka kemudian memasuki sebuah dunia baru yang bernama Indonesia.

Sebagai komunitas kreatif, Teater Gandrik sangat fleksibel dalam keanggotaan. Dengan manajemen kelompok yang fleksibel itu, soliditas kelompok dan iklim kreatif dapat terus terjaga. Beberapa eksplorasi pencarian dengan berbasis naskah-naskah luar negripun pernah ditelorkan, seperti: Mas Tom, yang merupakan adaptasi dari Tom Jones, karya penulis Inggris Hendry Fielding (1707-1754). Begitu juga lakon terjemahan Keluarga Tot (2009) karya penulis Hungaria, István Örkény yang berpijak pada mazab realism.

Pada tahun 1999, Teater Gandrik mendapatkan kesempatan mementaskan Brigade Maling di Monash University, Australia. Sebelumnya, pada tahun 1990 dan 1992, Teater Gandrik juga mementaskan lakon Dhemit dan Orde Tabung di Singapura. 

Sebagai salah satu kelompok teater yang paling konsisten mementaskan karya-karya, Teater Gandrik rutin menyapa penontonnya. Berikut adalah pertunjukan 6 tahun terakhir: Pan-Dol (2011), Gundala Gawat (2013), Tangis (2015), Orde Tabung-Dramatic Reading (2016). Dan kini di tahun 2017, Teater Gandrik tampil kembali dengan lakon Hakim Sarmin karya Agus Noor.

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya