Teater Garasi mempersembahkan sebuah pertunjukan teater-musik (muziktheater) "Menara Ingatan"

Posted : 25 May 2017

Teater Garasi/Garasi Performance Institute dan Bakti Budaya Djarum Foundation, bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, mempersembahkan sebuah pertunjukan teater-musik (muziktheater), “Menara Ingatan”, berdasarkan karya komposisi Yennu Ariendra (seniman Teater Garasi dan kelompok musik Melancholic Bitch) di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 24 – 25 Mei 2017.

Menara Ingatan adalah produksi teranyar Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Karya ini berangkat dari sejarah dan ingatan atas Indonesia yang dilihat dari sudut pandang sejarah Gandrung Banyuwangi, suatu bentuk pertunjukan tradisi di timur pulau Jawa. Refleksi personal komposer dan kolaborator karya kemudian melihat bahwa Gandrung dan masyarakat Osing pendukungnya adalah (juga) perihal perlawanan yang keras kepala dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan yang ingin meringkusnya.

Komposisi musik dan pemanggungan Menara Ingatan meminjam struktur pertunjukan Gandrung Banyuwangi, yang terbagi dalam 3 babak: Jejer, Paju dan Seblang Subuh.

Perihal bentuk pertunjukan ‘Teater-Musik’

Proses penciptaan komposisi musik Menara Ingatan, dan proses pemanggungan serta visualisasinya, bertumpu pada logika kerja, pendekatan serta fungsi-fungsi teater. Karya ini bertolak dari pembacaan serta refleksi atau suatu isu atau tema tertentu, yang kemudian diterjemahkan dalam komposisi-komposisi musik yang menimbang keterwakilan naratif atas tema tersebut dan efek dramatik yang ingin diciptakan.

Karya ini berada di luar koridor teater musikal yang biasanya, entah itu opera, operette, musikal, singspiels, ataupun drama per musica. Bentuk garap karya ini cenderung memanfaatkan ruang yang kerap disebut teater-musik (dari bahasa Jerman: muziktheater). Ruang ini mengelompokkan olah kerja teater yang bertumpu pada musik secara lebih liat dan terbuka, semacam Merredith Monk, Heinner Goebbels, Laurie Anderson, Matmos, dan lain sebagainya. Dari deret nama ini, hampir tak ada ciri serupa, selain bahwa semuanya mengolah bentuk pertunjukan teater yang bertumpu pada musik.

Proyek ini melibatkan berbagai seniman lintas disiplin dari khasanah musik tradisi, musik digital, teater, hingga seni rupa kontemporer.

Sejarah Gandrung Banyuwangi dan Latar Belakang Karya

Gandrung Lanang, titik mula dari kesenian Gandrung, hasil prakarsa Mas Alit (Bupati pertama Banyuwangi), semula adalah jalan demi mengumpulkan rakyat Blambangan yang tercerai-berai setelah peperangan. Gandrung sebagai bentuk kesenian pun terus berkembang. Selepas Gandrung Marsan sebagai generasi terakhir Gandrung Lanang muncul Gandrung Semi sebagai generasi awal penari-penari gandrung perempuan. Hingga hari ini Gandrung tak hanya sebentuk kesenian pergaulan belaka melainkan menjadi identitas yang melekat kuat pada diri orang-orang Osing, penduduk asli Banyuwangi (Blambangan sekarang). Semangat perlawanan, pemberontakan, dan semangat pantang menyerah tercermin di sana. Kata “Osing” sendiri berarti “tidak”. Sebuah penolakan untuk tunduk pada kekuasaan Majapahit, Bali, Mataram dan VOC, sebuah sejarah panjang perlawanan.

“Proses penciptaan Menara Ingatan saya mulai, ketika saya teringat cerita kakek saya yang menjadi korban tragedi 65. Kalau tidak salah, di tahun 1968, ia dijemput 2 orang tentara. Sejak itu ia tidak kembali lagi. Hanya Gara-gara seorang pesaing bisnis menyebar isu kalo kakek saya adalah anggota PKI. Cerita ini terus membuat saya mengingat beberapa kejadian sejarah kelam di daerah dimana saya dilahirkan, Banyuwangi. Seperti korban petrus di tahun 80-an, pembantaian dukun santet dan isu ninja di akhir 90-an.”  

“Ketika mengolah isu-isu ini, saya bertemu lagi dengan Gandrung, bentuk kesenian Banyuwangi yang sejak lama menarik perhatian saya. Dari sana saya kemudian mempelajari sejarah perlawanan kerajaan Blambangan yang dari dahulu, abad 14 M, selalu menolak tunduk pada kekuasaan Majapahit, Bali, Mataram hingga VOC. Saya membaca kembali Suku Osing, penduduk asli Banyuwangi, yang dalam perang puputan (perang penghabisan) melawan Belanda dan Mataram mesti kehilangan 80 persen dari populasinya. Suku Osing, suku yang selalu berkata tidak pada setiap kekuasaan yang hendak menaklukkannya,” ujar Yennu Ariendra, sang composer dan inisiator karya.  

Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya