Djarum Apresiasi Budaya Gelar Opera Diponegoro Bertepatan Dengan Ulang Tahun Sang Pangeran

Posted : 11 Nov 2011

Djarum Apresiasi Budaya gelar Opera Diponegoro Java War, 1825-0000  karya Sardono W. Kusumo di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 11-13 November 2011. Menariknya, selain mulai digelar tepat pada ulang tahun sang pangeran pada 11-11-2011, opera bertajuk Java War, 1825-0000  ini dipertunjukkan dengan menampilkan sejarawan Peter Carey, penulis The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and The End of An Old Order in Java 1785-1855 (2008).

Dalam kesempatannya, Carey membahas lukisan copy “Penangkapan Diponegoro” karya Raden Saleh berukuran berukuran 7x14 meter yang dijadikan sebagai latar pertunjukan. Munculnya Peter Carey dan Raden Saleh adalah ingin mewartakan kepada khalayak betapa sejarah tak berhenti sesaat setelah ia ditulis. Sejarah terus bergulir ke berbagai arah, sebagaimana tatapan Raden Saleh dalam lukisan, tak hanya ke belakang, tetapi juga ke samping, dan lebih jauh lagi ke depan.

Dipilihnya judul Java War 1825-0000 juga dengan alasan khusus. Kisah asli perang Diponegoro memang meletup sepanjang 1825 hingga 1830, namun Sardono justru menempatkan angka 0000, hal ini sebagai bentuk penyampaian pesan bahwa pada kini bentuk kisah pertempuran melawan kesewenang-wenangan terus berlanjut pada masa tak terhingga.

Dituturkan oleh Sardono, lewat karyanya kali ini Sardono ingin menunjukkan kisah sejarah yang tidak hanya menceritakan pertempuran personal antara Diponegoro dan Belanda semata, tetapi juga pertempuran sengit tak berujung antara kemanusiaan dan kesewenang-wenangan yang lebih luas.

Pertunjukan yang produksinya dipimpin oleh Ratna Riantiarno ini kian menarik dengan kehadiran Happy Salma & Iwan Fals. Happy Salma terlihat mempesona saat menyajikan monolog khusus dalam adegan yang menggambarkan suasana ketegangan para tentara Hindia Belanda sebelum rencana penculikan Diponegoro. Dalam balutan gaun merah, Happy Salma berhasil memikat penonton saat memerankan “Diva Mabuk”. Sedangkan Iwan Fals, legenda hidup musik balada Indonesia, tak hanya dihadirkan untuk “menembangkan” autobiografi Pangeran Diponegoro yang termaktub dalam Babad Diponegoro, tetapi juga diposisikan sebagai narator sekaligus dalang.

Selain penataan musik yang lekat dengan tembang-tembang Jawa, Sardono memunculkan “Requiem” karya Wolfgang Amadeus Mozart untuk mempertajam kisah tragis penangkapan Diponegoro. Yang mengagetkan ia juga memasukkan kemegahan musik Richard Wagner – yang juga pernah dipakai Francis Ford Coppola dalam adegan pengeboman film Apocalyse Now – untuk memunculkan paradoks dan hasrat hidup di tengah-tengah bau kematian yang menyebar dalam adegan penangkapan Diponegoro oleh de Kock.

Selain menjadi pertunjukan yang memberikan kesan mendalam, Opera Diponegoro -Java War, 1825-0000 ini sarat akan pesan moral. “Melalui opera ini saya ingin menyampaikan, pertempuran terbaik terhadap penindasan apa pun hanya bisa dilakukan dengan perlawanan kultural. Itu sebabnya kita memerlukan semacam hijrah kultural. Dan saya tak cuma ingin jadi koreografer dalam Java War 1825-0000, namun lebih tampak tampil sebagai “pemikir kebudayaan” yang menggunakan pertunjukan (terutama tari) sebagai medium mengutarakan kebajikan-kebajikan”, ujar Sardono.

Hal tersebut tersebut didukung dengan pernyataan dari Renitasari, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, “Ini opera yang sangat menarik dan unik, walaupun perang Diponegoro adalah pertempuran yang sarat pertumpahan darah. Namun opera ini disajikan dengan sangat artistik dengan tanpa meninggalkan pesan sejarah. Adegan demi adegan menampilkan tata panggung dan koreografi indah dan penuh sentuhan budaya. Opera ini layak ditonton oleh masyarakat, supaya kita semua semakin mengenal sejarah dan tokoh-tokoh yang ikut membangun negeri ini.” ujarnya.


Share to Facebook Share to Twitter Share to Google

Artikel Lainnya

Video Lainnya